Sunday, March 3, 2013

Bernyanyi di Titik Tertinggi Bali : Review Perjalanan Mendaki Gunung Agung

Saya sadari postingan tentang pendakian Gunung Agung ini terlambat sekali, karena pendakiannya sendiri sudah dilaksanakantanggal 16-17 Agustus 2012 lalu. Tapi karena kemalasan menulis dan penyelesaian skripsi, akhirnya postingan ini baru terwujud sekarang. Waktu boleh berlalu, tapi kisah masa lalu akan tetap disitu, menunggu. :)

Awal pendakian ini bermula dari kenekatan saya ingin mendaki Gunung di tanggal 17 Agustus, ceritanya pingin ngerayain HUT RI di puncak Gunung. Awalnya banyak tantangan, seperti biasa, tapi saya hajar-hajar ajalah waktu itu ngajak Kak Budi supaya mau mendaki. Dia bukannya nggak mau, tapi dia kurang percaya diri kalo disuruh mendaki sama orang-orang yang ngga terlalu dikenalnya (baca : temen2ku). Lalu, suatu hari terbitlah asa di ufuk timur. Tim sekber berencana mendaki, didalangi kak koci dan kak tung, disambut oleh kak dede dan alit dan kak budi dan saya tentunya, kami memutuskan mendaki Gunung Agung pada tanggal 16 Agustus 2012 berenam melalui track Pura Pasar Agung. Namun H-2 pendakian, kak koci mendadak tidak bisa ikut karena ada hal mendesak yang tidak bisa ditunda, jadilah tim ekspedisi Gunung Agung kali ini beranggotakan 5 orang. Kak Dede, Kak Tung, Kak Budi, Alit, dan saya sebagai the only woman.

Planning pendakian adalah pendakian 2 hari 1 malam. Berangkat dari Pura Pasar Agung estimasi jam 4. Mendaki sampai setengah perjalanan, dengan estimasi sampai jam 6. Lalu berkemah sampai jam 2 pagi dan start menuju Puncak Gunung Agung sehingga bisa menyambut mentari 17 Agustus di Puncak Gunung.

Namun dasar jam elastis, kami baru berangkat dari Denpasar sekitar pukul 2.30 sore. Sampai di Pura pukul 4.30 Sore dan benar-benar take off (setelah sembahyang dan nyemil) pukul 5.00 sore.
Perjalanan * by : Dede Flameable

Pendakian dua jam dilakukan dengan tubuh ibarat mesin motor yang sudah lama tidak digunakan alias berat meeen. Kami berjalan perlahan-lahan. Setiap beberapa puluh meter berhenti untuk sekedar minum atau menurunkan tas yang bebannya lumayan berat. Tapi sejujurnya saya sangat menikmati pendakian itu. Karena saya sempat mempersiapkan fisik dengan latihan kardio. Walaupun saya satu-satunya cewek di tim pendakian, tapi saya bisa menyeimbangkan irama pendakian dengan lelaki-lelaki dalam tim.

Pukul 08.00 malam kami sampai di pertengahan Gunung tepatnya setelah (kalo nggak salah) Pura Tirta, kami masuk ke daerah semak-semak yang agak jauh dari track utama pendakian. Karena Bli Dede tau sebuah tempat yang sangat nyaman untuk digunakan berkemah. (Pendaki lain yang menginap di badan Gunung biasanya menginap di sekitar jalur pendakian yang bertekstur bebatuan sehingga agak kurang nyaman). Sedangkan tempat yang ditunjukkan oleh Bli Dede adalah semak-semak, dan daerah landainya cukup luas. Kami mendirikan tenda, menyiapkan api unggun dan memasak.

Siapa bilang kalau mendaki, makanan akan seadanya ? Kami adalah rombongan pendaki elegan. Karena kami membawa perbekalan berupa ayam betutu. Mungkin ayam betutu paling lezat yang pernah kami makan adalah ayam betutu yang kami bawa mendaki tersebut. Suasananya sangat luar biasa ! Malam dingin dan gelap, bintang bertaburan indah dan berkelip manja, makanan yang enak, teman-teman, api unggun. What a wonderful time !
Api Unggun * By : Dede Flameable

Kemudian kami beristirahat sekitar pukul 09.00 malam dan bangun pada pukul 2 pagi. Karena kami akan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gunung Agung sehingga kami bisa merayakan 17 Agustus sambil menyambut fajar.

Ternyata di perjalan paruh kedua ini lah yang benar-benar menguji mental saya. Karena medan yang kami lalui sangat curam. Antara kami salah jalan atau bagaimana, yang jelas saya gemetaran (bukan karena dingin) dan sebentar-sebentar berhenti untuk beristirahat. Ini bukan gaya saya sama sekali ! Dalam hati saya kebingungan, ada apa ini ? Tenaga saya masih banyak, kaki saya sedang dalam kondisi prima, tapi kenapa pendakian ini berat sekali ? Kelebatan pikiran-pikiran itu pun memenuhi otak saya. Lalu sampai di satu titik saya melihat ke bawah dan menyadari. Saya berada di badan dari Perwujudan Bali yang Tertinggi. Saya mulai ketakutan, saya berpikir bagaimana kalau saya terjatuh, apakah saya selamat, apakah saya bisa lanjut ke atas, apakah ini, apakah itu. Mental break down. Saya berhenti dan terduduk di tanah. Menangis meraung-raung sambil berkata ke Kak Budi, saya berhenti disini. Saya tidak sanggup naik, saya takut jatuh. Lalu kak budi yang merasa tidak mungkin meninggalkan saya di badan gunung meyakinkan bahwa, saat seorang pendaki memutuskan untuk mendaki, maka sang pendaki harus mempercayakan jiwa dan raganya kepada Sang Gunung. Karena saat kita percaya pada Sang Gunung bahwa Beliau akan melindungi kita, maka securam apapun medan yang harus ditempuh, Sang Gunung akan merangkul kita dan memastikan kita sampai dengan selamat ke tujuan kita.

Dengan setengah hati saya memaksakan diri mempercayai kata-kata kak budi dan melanjutkan perjalanan yang secara mental begitu menyakitkan saya. Dalam hati saya berpikir, saya sudah terlalu jauh menjalankan kedua kaki saya sampai disini. Tidak akan kubiarkan kejadaian kegagalanku menyelesaikan Gunung Batur tahun 2006 terulang lagi disini. Dengan segala usaha saya bisa sampai hanya beberapa menit sebelum Sang Fajar menyingsing di ufuk timur.

Saya berhasil ! Saya berdiri di Puncak Tertinggi Bali. Ya ! Saya, dengan kedua kaki saya dan mental saya yang sempat terluka sedang berdiri menatap Bali dari sudut yang berbeda. Sudut yang tidak semua orang bisa meraihnya. YA ! Saya sampai !

Saat Sang Fajar menyingsing dari ufuk timur, kami segenap pendaki menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai penghormatan kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sedang merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke 67. Menyanyikan lagu kebangsaan setelah melewati rintangan pendakian, dan kenyataan bahwa saya berada di titik tertinggi Bali membuat saya benar-benar gembira dan bangga. Kami
Bernyanyi di Titik Tertinggi Bali. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih tinggi di Puncak Gunung Agung. Memastikan bahwa Bali turut merayakan Kemerdekaan Indonesia bahkan di titik tertinggi Pulau. Kami sangat bangga !
Berkibarlah Benderaku

Sangat banyak cerita yang terjadi selama perjalanan 2 hari satu malam tersebut. Disaat orang lain melewati 2 hari satu malam tersebut dengan biasa, bersantai, atau upacara di lapangan, kami bergulat menggerakkan badan untuk melawan gravitasi dan mencapai Puncak Gunung Agung.

Pelajaran paling berharga yang saya dapatkan dari pendakian ini adalah : persiapan fisik pendakian adalah hal yang mutlak diperlukan sebelum seorang pendaki memutuskan untuk mendaki. Tapi persiapan mental seorang pendaki juga harus diasah sebelum berangkat mendaki.

Sampai jumpa di kisah pendakian saya dan tim ekspedisi selanjutnya.

Salam,

Gunggek Diah Setyarini